Kebebasan berpendapat seringkali dianggap sebagai salah satu pilar utama demokrasi. Namun, ada banyak miskonsepsi tentang bagaimana kebebasan ini harus diterapkan dan dilindungi. Demokrasi bukan berarti kebebasan absolut tanpa batasan. Dalam banyak negara, termasuk Indonesia, kebebasan berpendapat diatur dan dibatasi oleh undang-undang untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat merugikan individu lain atau kepentingan umum. Salah satu contoh adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, yang mengatur tentang penyebaran informasi di dunia maya dan menetapkan sanksi bagi penyebaran informasi yang dianggap merugikan atau menyesatkan.
Banyak orang menganggap bahwa kebebasan berpendapat dalam demokrasi berarti bebas berbicara tanpa konsekuensi. Namun, demokrasi juga mengutamakan tanggung jawab dan etika dalam menyampaikan pendapat. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta menyebarluaskan pendapatnya. Meski begitu, kebebasan ini tidak bersifat mutlak dan harus dihormati dalam kerangka hukum yang berlaku, termasuk peraturan yang melindungi hak asasi orang lain, keamanan negara, serta ketertiban umum.
Di sisi lain, kebebasan berpendapat juga sering disalahpahami sebagai hak untuk menyebarkan kebencian atau informasi palsu. UU ITE di Indonesia, khususnya Pasal 27 ayat (3), mengatur tentang larangan mendistribusikan atau mentransmisikan konten yang bersifat penghinaan atau pencemaran nama baik. Meskipun banyak yang mengkritik pasal ini sebagai pembatasan kebebasan berpendapat, undang-undang tersebut dirancang untuk mencegah dampak negatif dari penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab.
Miskonsepsi lainnya adalah pandangan bahwa kebebasan berpendapat berarti kebebasan untuk memprovokasi atau menghasut kekerasan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyebarkan kebencian berbasis ras dan etnis, yang dapat memicu konflik dan kekerasan. Aturan ini menunjukkan bahwa dalam demokrasi, kebebasan berpendapat harus sejalan dengan perlindungan terhadap kerukunan sosial dan keamanan masyarakat.
Kebebasan berpendapat juga sering disalahartikan sebagai kebebasan untuk menolak kritik atau pertanggungjawaban. Demokrasi sejati mendorong diskusi yang terbuka dan transparan, di mana setiap pendapat dapat diuji dan dikritik. Kebebasan berpendapat bukanlah tameng untuk menghindari pertanggungjawaban, tetapi kesempatan untuk menyampaikan pandangan dengan tetap menghormati norma-norma hukum dan etika yang berlaku. Ini merupakan esensi dari demokrasi yang sehat, di mana kebebasan berpendapat dan tanggung jawab sosial berjalan seiringan.